Jumat, 01 Maret 2019

Media dan Konflik Patani Thailand Selatan

Kebebasan di seluruh dunia mendesak dengan "tingginya pengangguran kemerosotan Media" tindakan yang selalu menjadi alat di bawah tekanan oleh pemerintah suatu Negara dan bisnis media internasional.

Fenomena tersebut tak bisa hindari dalam dunia yang kian tirani terhadap minoritas kelompok khususnya minoritas muslim seperti Isu Patani, secara aktualisasi banyak kasus-kasus dan kejadian yang seakan-akan mirip isu kejadian di Palistina. Sedangkan Media Internasional sangat lebih marak isu Palestina daripada isu Patani.

Patani, sejak dipisah-pisah dampak uluh perjanjian antara Thailand dan Kerajaan Inggris (Anglo-Siamse Treaty of 1909), telah terjadi perang antara negara Thailand dan mereka yang menginginkan kemerdekaan. Kekerasan yang terkait dengan perang ini adalah akibat langsung dari penindasan Muslim Melayu oleh negara Thailand. Patani ditempati oleh tentara Thailand dan rakyat Thai seperti kolonialisme.

Sudah jelas bahwa Thailand menjalankan Strategi Politik berbagai caranya, asimilasi budaya Thai terhadap Melayu Patani sebagai salah satu cara mereka.dan Sekularisasikan Islam menjadi Bhuda.

Muslim Patani dizalimi berbagai spastik HAM dan keamanan, akhirnya muncullah konflik dan sehingga peperangan nyaris sampai sekarang.

Peperangan antara Thai dan Patani bukan lagi hanya konflik kelompok budaya, tetapi konflik agama, politik dan etnis. konon mereka untuk melawan dan bertahan kemerdekaan Patani, semua haknya, hak Negara, Budaya, Bangsa, dan Agama, mereka telah menciptakan gerakan generasi ke generasi.

Demikian yang kita dapat lihat pada hari ini, isu Patani belum dikenal semaksimal dalam dunia Internasional, dan khususnya media Internasional, dengan sebab sistem pers dan media Thailand dikawal dan disensor oleh pemerintahnya, alias penerapan "Otoriterian Media".

Bisa kita menggambarkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, perdana menteri Thailand dari hasil pelentikan pasca-kudeta pemerintah PM Yingluck Shinawatra, sejak 2014 sampai sekarang. Akibatnya sistem pemerintah Thailand lebih berbau Militerisme dan Powerisme.

Walhasil dalam pengamatan Media Sedunia, Komunitas Pengawas Media Kedamaian Internasional mengatakan bahwa Media Thailand sangat tidak terbuka dan sempit pendapat, dengan kuat pengelolaan Pemerintah.

Sehingga Perdana Menteri Prayuth dijuluki sebagai " Sang Diktator" mengutip dari kasus serangan dan ancaman warga masyarakat yang dilakukan terhadap lembaga pers yang diserang penutupan mahupun wartawan dan banyak page informasi yang menyebarkan propaganda dan berita palsu sebagai Internet Operation (IO) atau Cyberwar bertuding dan pencemaran terhadap orang yang bertentangan dengan pemerintah di kalangan rakyat sipil khususnya Rakyat Patani.

Contohkanlah, ketika mempertimbangkan peristiwa tragis yang mengalami oleh rakyat sipil Buddha Thai di Thailand Selatan. salah satu aspek terburuk adalah reaksi dari LSM, media Thailand dan Human Rights Watch. Kerapkali daftar panjang LSM Thailand dilampirkan berbagai deklarasi yang mengutuk peristiwa dan menyerukan negara Thailand untuk membawa pelaku ke pengadilan. Juga media Thailand yang dikawal pemerintah Thai selalu menuding dan merekonstruksi wacana “Pataniphobia”.

Human Rights Watch menyebut pejuang Muslim Melayu Patani untuk kemerdekaan sebagai "seperatis dan teroris". Akibatnya, ini berarti bahwa LSM dan Media secara terbuka memihak negara Thailand dalam perang karena mereka melihat militer memiliki legitimasi untuk "membawa pelaku ke pengadilan". Tidak satu pun dari hal ini yang sangat mengejutkan karena banyak LSM Thailand menyambut intervensi militer baru-baru ini dalam politik Thailand untuk menggulingkan pemerintah yang terpilih secara demokratis.

Ironisnya, Apa yang sering hilang dari pernyataan kemarahan bagi kalangan NGO, LSM, dan media Thailand adalah fakta bahwa 3 ulama Muslim Patani dibunuh beberapa bulan sebelum peristiwa serang wat Buddha di Wat Rattananupab dan bahwa upaya pembunuhan dilakukan terhadap ulama lain pada bulan Januari. Rakyat Muslim Patani menyangka bahwa Pasukan tentara Thailand diketahui menargetkan pembunuhan ulama dan aktivis Muslim, namun media dan LSM sendiri sebaliknya langsung menuding kesalahan dan mengklaim tindakan tersebut dari militan Muslim Patani tanpa mendalami fakta dan investigasi.

Media dikawal Pemerintah

Thailand akhirnya turun dua posisi ke peringkat 136 dalam laporan tahunan dari wartawan di Paris. Komunitas pengawas mengatakan banyak dari para pemimpin dunia telah mengembangkan "paranoia Atau ketakutan" tentang jurnalisme dan keras atas media, sementara cakupan di gerai milik swasta semakin dibentuk oleh kepentingan perusahaan.

"Iklim hasil ketakutan dalam keengganan berkembang untuk berdebat," kata Christophe Deloire, sekretaris jenderal Reporters Without Borders, Paris "Jurnalisme layak nama harus dipertahankan terhadap peningkatan propaganda dan media konten yang dibuat untuk memesan atau disponsori oleh kepentingan pribadi."

Sementara Eropa memiliki media paling bebas, menurut laporan tersebut, beberapa negara, seperti Polandia turun tajam pada indeks kebebasan pers dengan memperketat kontrol pemerintah. Di Hungaria, pemerintah juga telah berupaya untuk memberlakukan pembatasan kebebasan pers.

Wartawan di Timur Tengah dan Afrika menjadi korban terorisme, konflik bersenjata dan intimidasi oleh pihak berwenang. Di Amerika Latin, wartawan dibatasi oleh kejahatan terorganisir, kekerasan dan korupsi. Di Amerika Serikat, mereka menghadapi cyber pengawasan.

Penurunan kebebasan media juga diamati di negara-negara demokrasi di Asia timur seperti Jepang dan Korea Selatan, sementara di Cina, "Partai Komunis mengambil represi ke ketinggian baru," kata studi tersebut.

Di negara-negara pasca-Soviet, kebebasan terus menurun, dengan banyak negara mengikuti contoh dari Rusia, di mana kritikus pemerintah menghadapi penganiayaan. Ukraina adalah pengecualian, sebuah perbaikan karena penurunan kekerasan dalam konflik separatis di timur negara dan beberapa reformasi, meskipun banyak masalah masih tetap.

Indeks ini mengukurkan kebebasan media, kemandirian, kerangka hukum dan keamanan jurnalis di 180 negara. Hal ini didasarkan pada kuesioner yang diisi oleh para ahli di seluruh dunia serta data kuantitatif tentang pelanggaran dan tindak kekerasan yang dilakukan terhadap wartawan dan Media.

Akhirnya, fenomena media yang kian gersang norma dan etikanya akan menjadi suatu ketindasan baru melalui informasi berbau profit peribadi, politik dan lain-lainnya bagi komunikan atau konsumsi informasi perlu mempunyai daya fikir serta analisisnya, karena Sekarang "Tiraninya Dunia Media".

Sumber : TUNAS Online, 28 Februari 2019.
Photo : ist/cyberwar.

0 komentar:

Posting Komentar