Kebebasan di seluruh
dunia mendesak dengan "tingginya pengangguran kemerosotan Media"
tindakan yang selalu menjadi alat di bawah tekanan oleh pemerintah suatu Negara
dan bisnis media internasional.
Fenomena tersebut tak
bisa hindari dalam dunia yang kian tirani terhadap minoritas kelompok khususnya
minoritas muslim seperti Isu Patani, secara aktualisasi banyak kasus-kasus dan
kejadian yang seakan-akan mirip isu kejadian di Palistina. Sedangkan Media Internasional
sangat lebih marak isu Palestina daripada isu Patani.
Patani, sejak
dipisah-pisah dampak uluh perjanjian antara Thailand dan Kerajaan Inggris
(Anglo-Siamse Treaty of 1909), telah terjadi perang antara negara Thailand dan
mereka yang menginginkan kemerdekaan. Kekerasan yang terkait dengan perang ini
adalah akibat langsung dari penindasan Muslim Melayu oleh negara Thailand.
Patani ditempati oleh tentara Thailand dan rakyat Thai seperti kolonialisme.
Sudah jelas bahwa
Thailand menjalankan Strategi Politik berbagai caranya, asimilasi budaya Thai
terhadap Melayu Patani sebagai salah satu cara mereka.dan Sekularisasikan Islam
menjadi Bhuda.
Muslim Patani dizalimi
berbagai spastik HAM dan keamanan, akhirnya muncullah konflik dan sehingga
peperangan nyaris sampai sekarang.
Peperangan antara Thai
dan Patani bukan lagi hanya konflik kelompok budaya, tetapi konflik agama,
politik dan etnis. konon mereka untuk melawan dan bertahan kemerdekaan Patani,
semua haknya, hak Negara, Budaya, Bangsa, dan Agama, mereka telah menciptakan
gerakan generasi ke generasi.
Demikian yang kita
dapat lihat pada hari ini, isu Patani belum dikenal semaksimal dalam dunia
Internasional, dan khususnya media Internasional, dengan sebab sistem pers dan
media Thailand dikawal dan disensor oleh pemerintahnya, alias penerapan
"Otoriterian Media".
Bisa kita menggambarkan
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, perdana menteri Thailand dari hasil
pelentikan pasca-kudeta pemerintah PM Yingluck Shinawatra, sejak 2014 sampai
sekarang. Akibatnya sistem pemerintah Thailand lebih berbau Militerisme dan
Powerisme.
Walhasil dalam
pengamatan Media Sedunia, Komunitas Pengawas Media Kedamaian Internasional
mengatakan bahwa Media Thailand sangat tidak terbuka dan sempit pendapat,
dengan kuat pengelolaan Pemerintah.
Sehingga Perdana
Menteri Prayuth dijuluki sebagai " Sang Diktator" mengutip dari kasus
serangan dan ancaman warga masyarakat yang dilakukan terhadap lembaga pers yang
diserang penutupan mahupun wartawan dan banyak page informasi yang menyebarkan
propaganda dan berita palsu sebagai Internet Operation (IO) atau Cyberwar
bertuding dan pencemaran terhadap orang yang bertentangan dengan pemerintah di
kalangan rakyat sipil khususnya Rakyat Patani.
Contohkanlah, ketika
mempertimbangkan peristiwa tragis yang mengalami oleh rakyat sipil Buddha Thai
di Thailand Selatan. salah satu aspek terburuk adalah reaksi dari LSM, media
Thailand dan Human Rights Watch. Kerapkali daftar panjang LSM Thailand
dilampirkan berbagai deklarasi yang mengutuk peristiwa dan menyerukan negara
Thailand untuk membawa pelaku ke pengadilan. Juga media Thailand yang dikawal
pemerintah Thai selalu menuding dan merekonstruksi wacana “Pataniphobia”.
Human Rights Watch
menyebut pejuang Muslim Melayu Patani untuk kemerdekaan sebagai "seperatis
dan teroris". Akibatnya, ini berarti bahwa LSM dan Media secara terbuka
memihak negara Thailand dalam perang karena mereka melihat militer memiliki
legitimasi untuk "membawa pelaku ke pengadilan". Tidak satu pun dari
hal ini yang sangat mengejutkan karena banyak LSM Thailand menyambut intervensi
militer baru-baru ini dalam politik Thailand untuk menggulingkan pemerintah
yang terpilih secara demokratis.
Ironisnya, Apa yang
sering hilang dari pernyataan kemarahan bagi kalangan NGO, LSM, dan media
Thailand adalah fakta bahwa 3 ulama Muslim Patani dibunuh beberapa bulan
sebelum peristiwa serang wat Buddha di Wat Rattananupab dan bahwa upaya
pembunuhan dilakukan terhadap ulama lain pada bulan Januari. Rakyat Muslim
Patani menyangka bahwa Pasukan tentara Thailand diketahui menargetkan
pembunuhan ulama dan aktivis Muslim, namun media dan LSM sendiri sebaliknya
langsung menuding kesalahan dan mengklaim tindakan tersebut dari militan Muslim
Patani tanpa mendalami fakta dan investigasi.
Media dikawal
Pemerintah
Thailand akhirnya turun
dua posisi ke peringkat 136 dalam laporan tahunan dari wartawan di Paris.
Komunitas pengawas mengatakan banyak dari para pemimpin dunia telah
mengembangkan "paranoia Atau ketakutan" tentang jurnalisme dan keras
atas media, sementara cakupan di gerai milik swasta semakin dibentuk oleh
kepentingan perusahaan.
"Iklim hasil
ketakutan dalam keengganan berkembang untuk berdebat," kata Christophe
Deloire, sekretaris jenderal Reporters Without Borders, Paris "Jurnalisme
layak nama harus dipertahankan terhadap peningkatan propaganda dan media konten
yang dibuat untuk memesan atau disponsori oleh kepentingan pribadi."
Sementara Eropa
memiliki media paling bebas, menurut laporan tersebut, beberapa negara, seperti
Polandia turun tajam pada indeks kebebasan pers dengan memperketat kontrol pemerintah.
Di Hungaria, pemerintah juga telah berupaya untuk memberlakukan pembatasan
kebebasan pers.
Wartawan di Timur
Tengah dan Afrika menjadi korban terorisme, konflik bersenjata dan intimidasi
oleh pihak berwenang. Di Amerika Latin, wartawan dibatasi oleh kejahatan
terorganisir, kekerasan dan korupsi. Di Amerika Serikat, mereka menghadapi
cyber pengawasan.
Penurunan kebebasan
media juga diamati di negara-negara demokrasi di Asia timur seperti Jepang dan
Korea Selatan, sementara di Cina, "Partai Komunis mengambil represi ke
ketinggian baru," kata studi tersebut.
Di negara-negara
pasca-Soviet, kebebasan terus menurun, dengan banyak negara mengikuti contoh
dari Rusia, di mana kritikus pemerintah menghadapi penganiayaan. Ukraina adalah
pengecualian, sebuah perbaikan karena penurunan kekerasan dalam konflik
separatis di timur negara dan beberapa reformasi, meskipun banyak masalah masih
tetap.
Indeks ini mengukurkan
kebebasan media, kemandirian, kerangka hukum dan keamanan jurnalis di 180
negara. Hal ini didasarkan pada kuesioner yang diisi oleh para ahli di seluruh
dunia serta data kuantitatif tentang pelanggaran dan tindak kekerasan yang dilakukan
terhadap wartawan dan Media.
Akhirnya, fenomena
media yang kian gersang norma dan etikanya akan menjadi suatu ketindasan baru
melalui informasi berbau profit peribadi, politik dan lain-lainnya bagi
komunikan atau konsumsi informasi perlu mempunyai daya fikir serta analisisnya,
karena Sekarang "Tiraninya Dunia Media".
Sumber : TUNAS Online, 28
Februari 2019.
Photo : ist/cyberwar.
0 komentar:
Posting Komentar