Kepakaran Syaikh
Ibrahim ibn Daud al-Fathani dalam berbagai disiplin ilmu agama, terutama bidang
tafsir telah mengantarkannya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram,
menggantikan pamannya, Syaikh Muhammad ibn Abdul Qadir al-Fathani. Pengajiannya
ramai akan thalabah yang berdatangan, terlebih dari kalangan Melayu (Jawi).
Tidak bosan-bosannya santri Jawi mengunjungi halaqahnya sebab penyampaian
materinya tidak membuat jemu bagi yang mendengarnya.
Syaikh Ibrahim
al-Fathani lahir kota suci Makkah pada 1320 H/1902 M. Ia merupakan putra dari
Syaik Daud ibn Abdul Qadir ibn Abdullah ibn Idris al-Fathani. Jika diruntut,
nasabnya masih bertemu dengan Syaikh Daud ibn Abdullah al-Fathani, salah
seorang ulama Patani (Thailand) yang masyhur dengan kealimannya yang menjadi
salah satu pengajar di Masjidil Haram dan mempunyai banyak karya, baik
berliteratur Arab maupun Jawi. Titik temunya tersebut bertemu di Syaikh
Abdullah ibn Idris al-Fathani.
Lingkungan yang ditempati
Syaikh Ibrahim al-Fathani dikenal penuh dengan keilmuan dan kereligiusan.
Ayahnya, Syaikh Daud al-Fathani sangat memperhatikan masalah pendidikannya
sejak usia dini. Dimasukkanlah ia di di kuttab (madrasah al-Qur’an) yang diasuh
oleh Sayyid Husein al-Maliki. Sering sekali ia diajak sang guru untu bertawaf
di Masjidil Haram dan menghadiri halaqah para ulama yang mengajar di serambi
Makkah. Di kuttab yang diasuh oleh Syaikh Husein al-Maliki, Syaikh Ibrahim
al-Fathani telah menghafalkan al-Qur’an 30 juz secara tuntas. Sang guru sangat
puas dengan prestasinya. Ia termasuk salah satu murid andalannya.
Setelah menghafalkan
al-Qur’an, Syaikh Ibrahim al-Fathani melanjutkan belajarnya di Madrasah
al-Hasyimiyyah selama 5 tahun. Kemudian, ia fokus menghadiri halaqah keilmuan
yang diselenggarakan di Masjidil Haram, di antara syaikhnya adalah Syaikh
Muhammad ibn Abdul Qadir al-Fathani (pamannya), Syaikh Muhammad Ali ibn Husein
al-Maliki, Syaikh Said ibn Muhammad al-Yamani, Syaikh Hasan ibn Said al-Yamani,
Syaikh Muhammad Yahya Aman, Syaikh Isa ibn Muhammad Rawas, Syaikh Umar Hamdan
al-maHrusi, Syaikh Umar ibn Abu Bakar Bajunaid, Syaikh Abbas ibn Abdul Aziz
al-Maliki, Syaikh Muhammad Habibullah al-Sinqithi, Syaikh ‘Ais al-Fardhi,
Syaikh Ahmad Abdullah Nadhirin, dan Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi.
Dengan penuh ketekunan
Syaikh Ibrahim al-Fathani mempelajari ilmu yang sudah ditransmisikan kepadanya.
Ditopang dengan al-Qur’an yang sudah dihafalkannya, ia dapat mengkaji ilmu
tafsir dan fikih dengan mendalam sebab dalil atau hujjah utamanya sudah
dikuasai. Oleh sebab itu, saat pamannya, Syaikh Muhammad Abdul Qadir wafat, ia
ditunjuk penguasa Haramain untuk menggantikan posisinya dalam mengajar di
Masjidil Haram. Peristiwa ini terjadi pada 1350 H/1931 M. Wadifah itu berlanjut
hingga akhir hayatnya. Tempat pengajiannya berada di Bab al-Salâm dan Bab
al-Nabi serta di Serambi antara Bab al-Salâm dan Qayatabi. Masanya setelah
Magrib dengan materi spesial yaitu tafsir al-Qur’an dan fiqih. Selain itu, ia
juga mengajar Gramatika Arab, ushul fiqih, dan Hadist seperti kitab Takhrîj
al-Furu’ ‘alâ al-Ushûl dan kitab Riyâdhu al-Shâlihîn.
Karena takut kajiannya
akan membuat bosan thalabahnya, maka Syaikh Ibrahim al-Fathani menyelingi
dengan sebuah nasehat dan petunjuk, serta cerita-cerita yang mengandung hikmah.
Ia mengupayakan materi yang disampaikan akan kedengaran mudah. Semua itu
dikerjakannya dengan penuh keikhlasan dan amanah. Jika dirasa masih ada materi
yang belum dipahami oleh muridnya, maka ia tidak akan berpindah ke pembahasan
yang lain. Ia mempersilahkan kepada mereka untuk bertanya dan pertanyaan
tersebut akan dijawabnya dengan penuh tanggung jawab. Dengan metode seperti
ini, maka tidak mengherankan jika murid-muridnya banyak yang menjadi alim di
antaranya adalah Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani dan Syaikh Abdul Wahhab
IBRAHIM.
Meskipun jasad Syaikh
Ibrahim al-Fathani berada di Haramain, namun ia sangat memperhatikan tanah
leluhurnya, yaitu Malaysia. Beberapa kali ia mengunjungi Malaysia untuk tujuan
dakwah dan meniupkan semangat dalam menyebarkan agama Allah. Selain Malaysia,
negara yang pernah dikunjunginya adalah Hindia.
Syaikh Ibrahim
al-Fathani sangat akrab dengan ulama Melayu yang bermukim di Haramain seperti
Syaikh Muhsin ibn Ali al-Palimbani, Syaikh Muhaimin al-Lasemi, Syaikh Zubair
ibn Ahmad al-Filfulani, Syaikh Ahmad al-Qisthi, Syaikh Husein ibn Abdul Ghani
al-Palimbani, dan Syaikh Yasin ibn Isa al-Fadani. Ketika akhâbiru (pembesar)
ulama Melayu, khususnya Indonesia mendirikan Madrasah Dar al-Ulum pada 16
syawwal 1352, Syaikh Ibrahim al-Fathani diminta untuk ikut serta dalam mengajar
di dalamnya. Dengan senang hati ia mengabulkan permintaan tersebut. Madrasah
Dar al-Ulum didirikan disebabkan ada salah satu pelajar dari Nusantara dicaci
maki oleh salah seorang syaikh di Madrasah Shaulathiyyah sebab membaca koran
yang berbahasa Melayu. Karena menyangkut-nyangkut nama kebangsaan Indonesia,
maka pembesar ulama Indonesia sepakat menarik semua syaikh dan siswa yang
belajar di Shaulathiyyah untuk pindah di Dar al-Ulum. Ulama yang didaulat
sebagai mudir pertamanya adalah Syaikh Muhsin ibn Ali al-Palimbani.
Syaikh Ibrahim
al-Fathani tidak hanya mengajar di Masjidil Haram dan Madrasah Dar al-Ulum. Ia
juga mempunyai wadifah mengajar di Ma’had al-Ilmiyyi al-Sa’udiyyi, kediaman
Syaikh Husein ibn Ali al-Maliki, dan di Madrasah Tahdhir al-Bi’stat.
Jika dirasa masih
kurang puas dengan keterangan ilmu yang disampaikan Syaikh Ibrahim al-Fathani
selama mengajar di sebuah majlis, maka sebagian thalabahnya terkadang
mendatangi kediamannya untuk bertanya. Rumahnya terbuka untuk umum sebagai
tempat berlabuh untuk mendikusikan masalah agama, baik yang datangnya dari
muridnya atau masyarakat umum. Ia sering dimintai fatwa untuk menghilangkan
ganjalan-ganjalan atas problematika yang muncul di tengah-tengah masyarakat.
Dengan senang hati Syaikh Ibrahim al-Fathani akan melayani permintaan tersebut.
Jika tugasnya mengajar
dan melayani masyarakat sudah selesai, maka Syaikh Ibrahim al-Fathani
menggunakan sela-sala waktunya untuk mengarang sebuah kitab. Ia tergolong ulama
yang produktif. Di antara karya tulis yang dihasilkannya adalah Nahj al-Burdah,
kitab al-Faraidh, Tafsîr al-‘Asyar min al-Qur’ani al-Karîm, Syarah Riyâdu
a-Shâlikin (belum sempurna), dan Nadzam Ishtilahat al-Minhhaj fi Hikâyati al-Khilâf.
Nama Syaikh Ibrahim
al-Fathani yang semakin mengembang membuat jadwal dakwahnya semakin memadat. Ia
ditawari untuk mengisi acara dakwah di radio milik pemerintah Saudi Arabia
dengan kajian ilmu Hadist dan tafsir. Beberapa kali ia diminta untuk menulis di
majalah. Ia pernah menulis syair sebanyak 50 judul yang isinya menyayat hati
pembacanya.
Kecintaan Syaikh
Ibrahim al-Fathani terhadap ilmu, menumbuhkan hobi untuk mengumpulkan beberapa
karya tulis dari berbagai jenis kajian. Ia mempunyai perpustkaan khusus yang di
dalamnya berisi banyak kitab. Kitab-kitab koleksinya tersebut diwakafkan di maktabah
universitas Umm al-Qura menjelang kewafatannya. Ia kembali ke Rahmatullah pada
hari Selasa 13 Sya’ban 1413 H/1992 M.
Oleh : Amirul Ulum,
Khodim Ulama Nusantara Center
Sumber : LADUNI.ID
0 komentar:
Posting Komentar