Jumat, 29 Maret 2019

Khazanah Masuk Islam Patani

Sejarah mencatat, masuknya Islam di Thailand sedikit berbeda dengan perjalanan Islamisasi di negara Asia Tenggara lain. Kawasan Patani bersentuhan dengan Islam bukan oleh pedagang dari Malaka.

Patani diduga mengenal Islam bersamaan dengan masuknya Islam ke Malaka. Terdapat kesultanan yang masyhur di Patani, yakni Patani Darussalam.

Bahkan, menurut Peneliti Puslitbang Kementerian Agama, Syaukani, banyak ulama Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang berasal dari Patani. Kerajaan Islam Patani pernah menjadi kekuatan besar dan pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.

Meski demikian, Patani tak memiliki peran sebesar Malaka dalam proses penyebaran Islam di Asia Tenggara.

Menurut pakar sejarah Universitas Indonesia, Bondan Knumayoso, Patani sebenarnya bukanlah kerajaan kecil dibandingkan Malaka. Namun, sejarah Patani seakan terlupakan karena mengalami kejatuhan dan harus bergabung dengan Kerajaan Siam dalam satu kesatuan Thailand.

“Patani memainkan peran sebagai kota pelabuhan, pintu gerbang perdagangan Asia Tenggara. Dalam jaringan penyebaran Islam di Asia Tenggara, Patani juga memainkan peranan strategis. Kemudian, terjadi perubahan karena datangnya orang Eropa. Patani merosot dan hilang karena kekuatan kolonial,” papar Bondan.

Setelah orang Eropa datang, perlahan tapi pasti seluruh jaringan perniagaan sentral di Asia Tenggara menjadi milik mereka.

Sejarah Patani pun terlupakan, padahal pernah menjadi kota pelabuhan penting bagi Islam.

“Banyak ulama dari Patani, tak tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, saya kira, dulu ulama selain orang Arab, Campa, juga ada dari Patani,” jelas pakar sejarah Universitas Indonesia, Bondan Knumayoso.

Wilayah Patani di Thailand Selatan, menurut Bondan, merupakan bagian dari Melayu. Namun, dalam perkembangan pembentukan negara Thailand, kawasan tersebut diakui sebagai bagian dari Thai.

Padahal, identitas mereka sebagai masyarakat Melayu sudah terbangun sejak abad ke-14-15. Dampaknya, hingga kini Patani pun menjadi minoritas di Thailand, sama halnya dengan Moro di Filipina dan Rohingya di Myanmar.

Penyatuan tanpa memandang sejarah kawasan, budaya, dan keinginan etnis yang bersangkutan menjadi penyebab timbulnya masalah di tengah kondisi Islam di Asia Tenggara yang damai tanpa hiruk-pikuk peperangan ataupun kekerasan.

“Mengapa budaya beda, agama beda, tetap mempertahankannya bersatu. Akhirnya konflik berkembang hingga sekarang,” kata Bondan.

Hal seperti itu, lanjut dia, juga pernah dialami Indonesia ketika menghadapi Timor Timur. Budaya dan agama berbeda sehingga terus menimbulkan konflik berkepanjangan. “Hingga akhirnya dengan proses yang berat ,Timor Timur pun dilepas.”

Sumber : TUNAS Online, 29 Maret 2019.
Photo : Ilustrasi/new mandala.

0 komentar:

Posting Komentar