Sejarah mencatat,
masuknya Islam di Thailand sedikit berbeda dengan perjalanan Islamisasi di
negara Asia Tenggara lain. Kawasan Patani bersentuhan dengan Islam bukan oleh
pedagang dari Malaka.
Patani diduga mengenal
Islam bersamaan dengan masuknya Islam ke Malaka. Terdapat kesultanan yang
masyhur di Patani, yakni Patani Darussalam.
Bahkan, menurut
Peneliti Puslitbang Kementerian Agama, Syaukani, banyak ulama Asia Tenggara,
termasuk Indonesia, yang berasal dari Patani. Kerajaan Islam Patani pernah
menjadi kekuatan besar dan pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara.
Meski demikian, Patani
tak memiliki peran sebesar Malaka dalam proses penyebaran Islam di Asia
Tenggara.
Menurut pakar sejarah
Universitas Indonesia, Bondan Knumayoso, Patani sebenarnya bukanlah kerajaan
kecil dibandingkan Malaka. Namun, sejarah Patani seakan terlupakan karena
mengalami kejatuhan dan harus bergabung dengan Kerajaan Siam dalam satu
kesatuan Thailand.
“Patani memainkan peran
sebagai kota pelabuhan, pintu gerbang perdagangan Asia Tenggara. Dalam jaringan
penyebaran Islam di Asia Tenggara, Patani juga memainkan peranan strategis.
Kemudian, terjadi perubahan karena datangnya orang Eropa. Patani merosot dan
hilang karena kekuatan kolonial,” papar Bondan.
Setelah orang Eropa
datang, perlahan tapi pasti seluruh jaringan perniagaan sentral di Asia
Tenggara menjadi milik mereka.
Sejarah Patani pun
terlupakan, padahal pernah menjadi kota pelabuhan penting bagi Islam.
“Banyak ulama dari
Patani, tak tahu pasti jumlahnya berapa. Tapi, saya kira, dulu ulama selain
orang Arab, Campa, juga ada dari Patani,” jelas pakar sejarah Universitas
Indonesia, Bondan Knumayoso.
Wilayah Patani di
Thailand Selatan, menurut Bondan, merupakan bagian dari Melayu. Namun, dalam
perkembangan pembentukan negara Thailand, kawasan tersebut diakui sebagai
bagian dari Thai.
Padahal, identitas
mereka sebagai masyarakat Melayu sudah terbangun sejak abad ke-14-15.
Dampaknya, hingga kini Patani pun menjadi minoritas di Thailand, sama halnya
dengan Moro di Filipina dan Rohingya di Myanmar.
Penyatuan tanpa
memandang sejarah kawasan, budaya, dan keinginan etnis yang bersangkutan
menjadi penyebab timbulnya masalah di tengah kondisi Islam di Asia Tenggara
yang damai tanpa hiruk-pikuk peperangan ataupun kekerasan.
“Mengapa budaya beda,
agama beda, tetap mempertahankannya bersatu. Akhirnya konflik berkembang hingga
sekarang,” kata Bondan.
Hal seperti itu, lanjut
dia, juga pernah dialami Indonesia ketika menghadapi Timor Timur. Budaya dan
agama berbeda sehingga terus menimbulkan konflik berkepanjangan. “Hingga
akhirnya dengan proses yang berat ,Timor Timur pun dilepas.”
Sumber : TUNAS Online,
29 Maret 2019.
Photo : Ilustrasi/new
mandala.
0 komentar:
Posting Komentar