AMPERA PATANI - Maulidia Adinda saat ini sedang berada di Thailand. Dia berada di negeri berjuluk Gajah Putih, tepatnya di Thailand Selatan. Kehadiran perempuan asal Aceh itu dalam rangka melakukan program guru pendamping tentang pendidikan perdamaian dan menggalakkan penggunaan bahasa Melayu.
Program tersebut merupakan kerjasama antara Aceh Civil Society Task Force (ACSTF) di Aceh dengan NGO di Patani, yaitu Bunga Raya Group. Bunga Raya Group merupakan NGO yang fokus di bidang pendidikan dan intelektualitas.
“Program ini sebenarnya bertujuan untuk menjadi model pendidikan perdamaian dan juga menggalakkan penggunaan bahasa Melayu sebagai identitas masyarakat Pattani,” kata Lidia, panggilan akrabnya saat dihubungi Kanal Aceh, Minggu (24/1).
Sejak 25 November 2015 lalu, Maulidia mengajarkan program tersebut di sekolah Tadika (Taman Pendidikan Kanak-Kanak) untuk siswa kelas tiga sampai enam atau setingkat dengan sekolah dasar yang ada di Indonesia. “Saya bertugas di dua sekolah, yaitu sekolah di wilayah Patani dan Narathiwat,” lanjutnya.
Alumnus Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Unsyiah itu menjelaskan ia memilih untuk mengajar di daerah tersebut karena pada dasarnya masyarakat Thailand Selatan adalah bangsa Melayu.
Tapi, Lidia mengaku lama-kelamaan masyarakat di kawasan Thailand Selatan, seperti Patani, Narathiwat, Yala, Songkla, dan Setun mulai melupakan identitas diri mereka sebagai Melayu.
Penggunaan bahasa Melayu di lima wilayah itu hanya dipahami oleh masyarakat Thailand Selatan saja. “Bahasa melayu mereka sulit dipahami oleh orang Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam,” ucapnya.
Faktor mereka melupakan identitas Melayu karena masyarakat Thailand Selatan memiliki sejarah konflik dengan kerajaan Thailand (Siam). Lidia menceritakan konflik kerajaan Thailand (Siam) dengan masyarakat Thailand Selatan sudah terjadi sangat lama, sehingga masyarakat Thailand Selatan mulai kehilangan identitas Melayu.
Bahkan, menurut Lidia konflik tersebut hampir sama seperti konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI) di Aceh dulu. Yang membedakannya, konflik di Thailand Selatan itu tidak dianggap sebagai isu internasional, hanya isu lokal saja.
“Saya adalah generasi yang pernah hidup di zaman konflik dan hidup di zaman damai. Saya di sini (Patani dan Narathiwat) ingin menceritakan soal respons dan penyelesaian konflik sosial kepada masyarakat dan anak-anak sekitar bahwa ada sisi positif yang diperoleh pascadamai Aceh, yaitu tidak lagi hidup dalam ketakutan,” ujar perempuan kelahiran 19 Agustus 1993 itu.
Konflik yang terjadi di wilayah Thailand Selatan, kata Lidia, adalah konflik yang dilakukan oleh gerakan separatis, di mana warga setempat menginginkan kemerdekaan atas wilayahnya. “Ada keinginan untuk memisahkan diri dari negara induknya (Thailand),” ungkapnya.
Lidia tidak berangkat sendiri. Ia bersama empat teman lainnya mengajar hingga akhir Maret atau awal April 2016 mendatang dan ditempatkan di berbagai wiliayah yang ada di Thailand.
Perempuan asal Sigli itu berharap program tersebut dapat memperkuat solidaritas di antara sesama masyarakat di Thailand Selatan, khususnya Patani dan Narathiwat.
“Selain itu, dengan belajar bahasa Melayu, mereka bisa lebih mudah berinteraksi dengan masyarakat Melayu nusantara,” katanya. [Aidil Saputra]
Referensi sumber diulas dari links :-
......................................................... http://www.kanalaceh.com/2016/01/24/lidia-guru-bahasa-melayu-asal-aceh-di-pattani/
......................................................... http://www.kanalaceh.com/2016/01/24/lidia-guru-bahasa-melayu-asal-aceh-di-pattani/
0 komentar:
Posting Komentar