Konflik yang sudah
berlangsung lebih dari dua ratus tahun lebih yang terjadi di Thailand Selatan
adalah konflik yang berbasis berelemen identitas etnis merupakan salah satu
contohnya. Konflik ini seakan-akan membenarkan asumsi bahwa globalisasi dan
situasi pasca Perang Dingin mengubah bentuk dan sifat konflik.
Masa Perang Dingin
ditandai dengan banyaknya pertikaian bersenjata antarnegara yang merupakan
bentuk-benuk proxy war karena terlibatnya kekuatan adikuasa di balik
perang-perang tersebut. Setelah perang dingin sifat konflik seringkali dikatakan
berubah dari konflik antarnegara menjadi konflik di dalam negara yang diwarnai
dengan berbagai benturan identitas.
Konflik yang terjadi di
Thailand Selatan tidaklah selalu relevan dengan asumsi tersebut sebab konflik
ini telah berlangsung lebih dari dua abad. Namun benar jika dikatakan bahwa
fenomena globalisasi sedikit banyak berpengaruh pada perjuangan masyarakat
Muslim Thailand Selatan.
Terdapat tiga
organisasi utama sebagai wadah perjuangan kaum muslim Thai, yaitu BNPP (Barisan
Nasional Pembebasan Thai), BRN (Barisan Revolusi Nasional), dan PULO (Pattani
United Liberation Organization).Ketiganya sama-sama berjuang untuk kebebasan
dan mengurangi dominasi pemerintah Thailand.
Menurut Suhrke Burr, A.
(1977). dalam Group Ideology, Consciousness and Social Problems: A Study of
Buddhist and Muslim mengatakan Merdeka menjadi tuntutan dan target tertinggi
karena “Hanya dengan kemerdekaan tujuan melayani rakyat dapat tercapai,” Perlu diketahui
bahwa strategi perjuangan kaum Muslim Thai terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu
pemisahan diri total, dan penggabungan dengan federasi Thai dalam bentuk
otonomi dan penggabungan diri dengan Malaysia.
Sekalipun
ketiga-tiganya merupakan hal yang sangat sulit terwujud, perjuangan dengan
elemen iredentis merupakan tujuan yang hampir tidak mungkin tercapai.
Perjuangan iredentisme lebih sulit dilakukan daripada perjuangan pemisahan diri
karena resiko kegagalannya lebih besar daripada perjuangan pemisahan diri.
Perjuangan iredentis harus mampu melepaskan diri terlebih dahulu dari “negara
induk”nya sebelum bergabung dengan negara tujuan.
Perlawanan besar
pertama kali terjadi pada November 1945 diprakarsai oleh Tengku Abdul Jalil.
Ulama ini meminta dukungan Inggris bagi pembebasan Thai Selatan dengan petisi
yang berbunyi:
“Patani adalah negara
Melayu, yang sebelumnya dipimpin oleh Raja-raja Melayu selama beberapa
generasi. Sekarang bangsa-bangsa Sekutu harus membantu pengembalian Negara ini
ke Melayu, agar kami dapat bersatu dengan Negara-negara Melayu lainnya di
semenanjung .”
Setelah perlawanan
1945, terjadi beberapa kali kejadian serupa. Perjuangan bangsa Patani ini
merupakan hal tak kunjung padam dan menjadi salah satu perjuangan pembebasan
paling lama. Bagi pemerintah Thailand, masalah Thailand Selatan menjadi masalah
nasional utama yang mengganggu dalam upaya nation building dan selalu menjadi
faktor destabilitas nasional. Perjuangan tersebut berakar dari beberapa sebab
utama, di antaranya:
Politik asimilasionis
yang berlebihan dari pemerintah Thailand menyebabkan terancamnya identitas
Melayu. Dalam upaya nation building, pemerintah Thailand menggunakan strategi
asimilasionis yang berlebihan kepada rakyatnya.
Bagi bangsa Patani,
cara-cara represif merupakan simbol penolakan identitas Melayu mereka sampai
sekarang, karena pemerintah Thai menghendaki satu masyarakat Thai dengan
identitas Thailand. Pendekatan militer semakin menjauhkan tujuan integrasi yang
hendak dibangun. Penyeragaman tersebut menyebabkan rakyat Patani secara
sistemik dimarginalkan dari mainstream politik, sosial, ekonomi Thailand.
Cara-cara represif yang
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut membuat rakyat Patani merasa
teragregrasi ke dalam kutub yang berlawanan dengan kebijakan pemerintah.
Contohnya, pemerintah tidak mendukung penggunaan bahasa Melayu, apalagi
mengajarkannya sekalipun sebagai bahasa kedua di sekolah-sekolah
Selain itu Pondok yang
merupakan lembaga pendidikan utama kaum Muslim Melayu Patani terancam
keberadaaannya setelah Pemerintah Thailand memberlakukan Compulsary Education
Act pada tahun 1921. Peraturan baru ini mengharuskan para siswa muslim untuk
bersekolah di lembaga pendidikan formal sekuler yang dikelola oleh pemerintah.
Demikian itu, Peraturan
baru ini membawa implikasi luas bagi keberadaan lembaga pendidikan Islam,
seperti tidak diakuinya ulama oleh negara, terjadinya persaingan antara sekolah
sekuler dan pondok dalam hal menciptakan solidaritas di antara masyarakat,
menurunnya status sosial, politik dan ekonomi ulama. Ketika pemerintah
menggabungkan sekolah agama dengan sekolah sekuler dalam sistem pendidikan
nasional, terdapat resistensi kuat dari para elite agama.
Sejak saat itu secara
periodik sering terjadi perlawanan dan pemberontakan. Ketidakpuasan atas
peraturan baru tersebut mendorong Haji Sulong, pada tahun 1940-an pemimpin
Dewan Islam Patani, pada tahun 1940-an, atas nama propinsi Yala, Pattani,
Narathwat, dan Satun untuk mengajukan sejumlah tuntutan kepada pemerintah Thai
agar Bangkok “to support education in the Malay medium up to the fourth grade
in parish schools within the four provinces” dan “use the Malay language within
government offices alongside Thai”.
Selain itu, mereka
menuntut diberikannya posisi kepada seorang Muslim yang lahir di
wilayah-wilayah ini yang memungkinkannya memiliki kekuasaan untuk mengatur
segala urusan yang berkaitan dengan empat provinsi tersebut. Hal lain yang
menjadi tuntutan mereka adalah diberikannya 80 persen muslim yang lahir di
empat propinsi tersebut menjadi pegawai pemerintah yang ditempatkan di
wilayah-wilayah tersebut. Tuntutan ini berakhir dengan dibubarkannya Dewan
Islam Patani dan “hilang”nya Haji Sulong. Tragedi ini menyulut
pemberontakan-pemberontakan berikutnya
Ikatan historis dan
psikologis dengan bangsa Melayu di Malaysia
Seperti disebutkan di
atas, salah satu alasan kuat rakyat Patani membangkit Perlawanan adalah karena
keinginan Merdeka yang utama dan juga mereka bergabung dengan klin ethnic di
wilayah Kedah, Kelantan dan Trengganu, yang merupakan bagian dari sejarah masa
lalu bangsa Melayu. Menurut Burr Terdapat cukup banyak bukti empiris mengenai
kehendak kaum muslim Patani bergabung dengan Malaysia.
Secara historis,
dukungan berasal dari negara bagian Kelantan di Malaysia. Poros Kelantan-Patani
bertujuan melepaskan Patani dari kekuasaan kerajaan Siam. Pada masa-masa awal
perjuangan, beberapa kelompok pejuang memiliki tujuan yang berbeda tentang
Merdeka diri dari pemerintah Thailand, walaupun beberapa kelompok perjuangan
iredentis masih menghendaki menjadi bagian Malaysia.
Beberapa elemen
masyarakat Malaysia memberi dukungan moral kepada muslim Patani, seperti yang
diberikan oleh Parti Islam se-Malaysia (PAS). Hal ini merupakan perkembangan
menarik, bahwa iredentisme Patani tidak berkembang menjadi konflik antar Negara
(dalam hal ini antara Malaysia dan Thailand). Hal ini diistilahkan oleh Suhrke
(1975) sebagai “irredentism contained”.
Perbedaan etnis antara
Thai dengan Melayu berdampak pada keterbelakangan ekonomi di Patani, Thailand
Selatan. Kesenjangan ekonomi tersebut disebabkan karena pemerintah Thai
dianggap kurang memberi perhatian pada kesejahteraan rakyat setempat. Situasi
ekonomi seperti ini bisa jadi merupakan fakta sekaligus persepsi mereka pada
sikap pemerintah Thai.
Secara faktual,
kemakmuran Muslim di wilayah ini lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain
di Thailand, apalagi dibandingkan dengan rakyat di Malaysia. Hal ini dapat
menyebabkan kecemburuan di kalangan Muslim Patani, terutama di propinsi.
Program-program
pembangunan yang tidak cukup dilakukan di wilayah selatan juga menyebabkan
jurang yang lebih lebar antara dua etnis yang berbeda di Thailand. Selain itu
proyek-proyek pemerintah yang tidak dilakukan di wilayah selatan dianggap
sebagai kurangnya perhatian bagi mereka. Secara persepsional, pemerintah Thai
dapat dianggap diskriminatif.
Jika pemerintah
membangun proyek di Thai Selatan, menurut perspektif kaum muslim Patani
pemerintah Thailand melakukan invasi teritorial atas wilayah mereka.
Oleh karena itu wajar
bila muslim Patani mengorganisasi diri untuk melakukan perlawan untuk
pembebasan diri. Beberapa sarjana melukiskan kondisi ini sebagai “kolonisasi
internal”
Sumber : TUNAS Online,
01 April 2019.
Photo :
ist/thedailyjournalist